Friday, February 11, 2011

Kematian; Keterbatasan Sekaligus Ketidak Berakhiran Hidup Manusia

Eksistensi manusia terbatas jika eksistensi manusia identik secara penuh dengan tubuhnya. Hal ini memberikan makna bahwa dengan kematian tubuh, keseluruhan diri manusia hilang ketika mati. Hal ini menunjukkan pula bahwa dalam kematian yang total dan radikal, manusia dengan segala dimensinya tunduk dan dikuasai oleh hukum fisik dan biologis sebagaimana suatu barang diantara barang-barang. Sebaliknya dengan teori evolusi, Teilhard de Chardin menjelaskan bahwa manusia akan kehilangan motivasi bila ia akan lenyap tanpa meninggalkan bekas. Dalam pandangan ini kematian sungguh tidak menunjuk pada ketidak berakhiran hidup manusia.

Gabriel Marcel menyatakan bahwa kekekalan hidup manusia yang menunjuk pada keadaan bahwa manusia secara esensial terdorong pada cinta kasih, pada hubungan “aku-Anda”, di mana mencintai seseorang berarti mengharapkan bahwa dia tidak akan mati (sebagai hubungan “aku-Anda” yang Mutlak). Sedangkan Karl Rahner menyatakan bahwa meskipun badan manusia merupakan dimensi esensial bagi manusia dank arena kondisi kebadanannya manusia dapat berhubungan dengan dunia. Setelah terputus karena kematian jiwa akan lebih luas berhubungan dengan dunia (pan-kosmik).

Kekekalan manusia dapat dijelaskan bahwa dengan kematian eksistensi manusia tidak akan berakhir, eksistensi manusia memiliki dasar dan tujuan metahistoris. Motivasi untuk membangun dunia akan selalu ada jika ada keberlangsungan hidup manusia sesudah kematian. Heidegger menyatakan bahwa kematian adalah istilah yang sebaiknya diberikan kepada manusia, karena dengan “kesadaran” akan kematian manusia akan memiliki makna kehidupannya. Eksistensi manusia dapat didefinisikan sebagai Sein-zum-Tode, ada-menuju-kematian. Kehidupan manusia hanya memiliki nilai dan kesatuan apabila ada akhir hidup, suatu batas yang memberi perspektif. Maka dalam hal ini Heidegger mengajak kita untuk hidup dalam antisipasi realistik atas kematian yang tidak terelakkan (erwarten). Kehidupan sebagai keseluruhan yang terbatas dan kita menghayatinya dengan satu tujuan dan daya kekuatan dalam bayangan kematian.

Heidegger mengatakan bahwa kesadaran akan kematian dan penerimaan kematian berarti penerimaan akan keterbatasan membuat eksistensi manusia otentik, yaitu eksistensi yang bertanggungjawab. Oleh karena kesadaran ini Heidegger menyatakan bahwa kematian memiliki nilai edukatif; karena kesadarannya maka kesadaran akan kematian akan mendorong manusia untuk berbuat guna menunda kematian yang tak terelakkan. Kedua, bahwa segala sesuatu yang dimiliki dan ditinggalkan pada masa hidup dan digunakan untuk dirinya sendiri adalah kesia-siaan.

Thomas Aquinas; "Persona"

“Persona” atau “pribadi” menunjukkan status manusia sebagai “subyek”, sebagai pelaku yang bebas dan rasional, yang tidak bisa direduksi menjadi obyek sekaligus menunjukkan “keutuhan” (subsistens, memiliki “ada’nya sendiri), keunikan dan ke-rohani-an manusia. Oleh karena itu istilah “persona” atau “pribadi” hanya digunakan kepada manusia bukan kepada makhluk lain. Thomas Aquinas memberikan definisi tersebut karena kekhasannya, keunikannya. Sebagai pribadi, manusia memiliki otonomi atas “ada”nya. Manusia “memiliki kodrat yang rasional”, sebagai persona yang memiliki akal budi atau kemampuan rasional. Manusia juga memiliki tujuan yang “pada dirinya” (“Finis in se”), manusia menjadi tujuan dari segala aktivitasnya dan tidak dapat direduksi menjadi sarana. Maka dalam definisi ini, dengan lima unsur utama yang terdapat dalam diri manusia, manusia memiliki kekhasan ciri yang berbeda dengan makhluk lainnya.

Dalam kebebasannya, manusia sebagai “pribadi” bukanlah hal yang sudah selesai akan tetapi terus menerus diperjuangkan dan diciptakan. Driyarkara menyatakan bahwa manusia harus mempribadi. Oleh karena unsur-unsur yang dikemukakan Thomas Aquinas menjadi ciri manusia yang bermartabat, maka hubungannya dengan hak-hak asasi manusia, kesemua unsure tersebut haruslah diperjuangkan, dijamin dan dirawat. Hak-hak inilah yang menjadikan manusia sungguh memiliki martabatnya. Dalam proses mempribadi, manusia akan sungguh menjadi manusia jika hak-hak asasinya dipenuhi.

Thursday, February 10, 2011

Apakah Aku Memiliki Tubuhku?

Tubuh memiliki makna penting bagi manusia. Tubuh tidak hanya bermakna biologis, namun sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Tubuh tidak hanya intrinsik pada identitas personal namun juga sebagai pribadi dalam perjumpaan sosial. Oleh karenanya, kita sangat terbatas dalam memaknai “aku adalah tubuhku”. Bahkan Gabriel Marcel menyatakan bahwa kata “memiliki” tidak dapat secara fundamental diterapkan pada tubuh. Aku tidak dapat mengatakan secara mutlak aku “memiliki” tubuh. Meskipun “tubuhku” dapat dihayati sebagai “diriku”, secara terbatas dapat dimaknai sebagai tubuh organik dan manusiawi. “Organik” karena ada kesamaan dengan organisme hidup lainnya, sebagai salah satu aspek kebertubuhan, dan “manusiawi” karena berpartisipasi dalam segala realisasi pribadi manusia dan pribadi manusia mengekspresikan diri dalam dan melalui tubuh.

Oleh karena faktor sosial, makna tubuh diberikan oleh masyarakat. Foucault menyatakan bahwa tubuh adalah entitas “yang diinvestasikan”, yang mendapat makna spesifik historis dan dibentuk oleh kekuatan sejarah dan kekuasaan. Bordieu menyatakan bahwa tubuh “dimodifikasikan” menjadi modal cultural. Kenyataan sosial ini menggambarkan bahwa dalam konteks sosial “aku tidak memiliki tubuhku”. Hal ini menunjukkan seakan-akan tubuh hanay dilihat dari sudut konstruksionisme, seolah-olah tidak ada tubuh biologis, dimana “aku memiliki tubuhku”. “Aku memiliki tubuhku” sebagai tubuh alami. Tubuh memiliki makna manusiawi sebagai tempat utama dalam berekspresi persona. Tubuh sebagai kehadiran ketika berhadapan dengan seseorang. Dalam kerangka komunikasi tubuh berfungsi sebagai bahasa, dimana ketelanjangan wajah mengekspresikan kesamaan manusia. Dalam wajah terdapat identitas manusia (Levinas). Tubuh juga berperan sebagai prinsip instrumentalitas, yang perlu dilatih dan dikembangkan kemampuannya, terutama dalam kemampuan terhadap pelayanan kepada yang lain. Dalam makna tersebut “aku memiliki tubuhku”.