Tuesday, January 04, 2011

Tentang UANG!

Uang berperanan penting bagi masyarakat modern. Uang memiliki nilai (value[1]). Meskipun uang memiliki fungsi sebagai alat tukar untuk mendapatkan utilitas, fungsi uang tidak melulu sebagai “alat tukar” untuk mendapatkan barang dan jasa. Nilai uang yang terkandung di dalamnya memiliki fungsi sebagai “nilai utilitas” (value of ultility) dan sebagai “nilai tukar” (value of exchange). Dalam fungsinya untuk mendapatkan utilitas, uang berperan untuk dipertukarkan dengan barang atau jasa yang memiliki utilitas tertentu. Oleh karena nilai uang terbatas, maka sejumlah uang dengan nilai tertentu dapat dipertukarkan dengan barang atau jasa dengan tingkat utilitas tertentu juga. Utilitas berhubungan dengan kelangkaan barang dan jasa. Semakin banyak jumlah sesuatu maka nilainya semakin rendah, sebaliknya semakin sedikit nilainya semakin tinggi. Seperti air dan berlian, air lebih mudah ditemukan daripada berlian. Oleh karena kelangkaannya, berlian memiliki nilai lebih tinggi daripada uang. Namun mengapa jika terdapat dua atau lebih berlian dapat dipertukarkan dengan sejumlah nilai uang yang berbeda? A. Smith mengatakan kemungkinan disebabkan karena utilitas dan keindahannya[2]. Kemudian persoalan berikutnya adalah bagaimanakah cara menilai keindahan (beauty) berlian sehingga memberikan nilai uang yang berbeda? Lalu bagaimanakah seseorang bisa menentukan kesesuaian nilai keindahan berlian dengan nilai uang tertentu? Apakah seorang penilai (kurator) berlian yang memiliki kemampuan menilai berlian memiliki selera tertentu yang kemudian bisa disesuaikan dengan nilai uang tertentu? Bagaimana seseorang sepakat atas keindahan sehingga bersedia menukarkan sejumlah nilai uang tertentu dengan berlian?

Kisah uang dalam berlian di atas berbeda dengan kisah air. Air tersedia melimpah jika dibandingkan dengan ketersediaan berlian. Seseorang secara absolut membutuhkan air untuk kehidupannya. Bahkan, tubuh manusia sebagaian besar terdiri atas air. Ketika air langka, dan manusia kesulitan untuk mendapatkannya orang akan membelanjakan uangnya, berapapun besarnya untuk dipertukarkan dengan air. Namun sebaliknya, pada saat air melimpah, manusia selain menggunakannya untuk hal-hal sekunder juga memberikan nilai uang yang lebih rendah jika dipertukarkan dengan air. Dalam kondisi tersebut manusia memiliki situasi yang sama, jika tidak ada air maka dirinya akan mati. Namun mengapa manusia memberikan nilai uang yang berbeda terhadap keduanya? Bukankah secara utilitas air memiliki nilai yang lebih tinggi daripada berlian? Namun mengapa air diberikan nilai tukar uang yang lebih rendah daripada berlian?

Aristoteles menjelaskan pertukaran ini memberikan pembedaan bahwa pada saat manusia memiliki barang-barang yang berbeda, dan guna memenuhi kebutuhannya maka manusia melakukan barter. Pertukaran ini dimungkinkan karena memenuhi syarat- syarat kecukupan alamiah dan tidak bertentangan dengan alam. Uang menjadi media untuk dipertukarkan dengan barang-barang. Dalam hal ini Aristoteles menyebut uang sebagai ukuran dalam pertukaran[3]. Pemaknaan Aristoteles atas pertukaran didasarkan pada perbedaan antar manusia dalam kepemilikan barang-barang. Pertukaran ini adalah pertukaran alamiah karena perbedaan kebutuhan tiap manusia dengan manusia lain. Perbedaan kebutuhan ini yang menjadi dorongan untuk pertukaran. Dengan sendirinya, pada saat seseorang tidak memerlukan barang lain dalam memenuhi kebutuhannya untuk hidup dirinya tidak perlu menukarkan barangnya. Uang sebagai medium untuk pertukaran, menjadi ukuran dalam pertukaran tersebut.

Kembali pada paradoks air dan berlian, mengapa manusia memberikan nilai uang yang lebih rendah pada air meskipun air lebih menentukan kehidupan manusia?. Utilitas dalam terminology Adam Smith mengarahkan pada pengertian manfaat, kenikmatan. Manfaat yang lebih memberikan kenikmatan yang lebih pula. Apakah kenikmatan adalah tujuan akhir manusia? Aristoteles dalam karyanya Ethica Niomachea menjelaskan bahwa kebahagiaan (eudaimonia) adalah tujuan akhir dan tertinggi manusia. Kebahagiaan adalah actus bukan potensi. Kebahagiaan manusia terdiri dari aktivitas khusus yang mengakibatkan manusia mendapatkan kesempurnaan, seperti kesempurnaan mata untuk melihat. Kesempurnaan manusia adalah aktualisasi kemungkinan tertinggi yang dimiliki manusia yaitu rasio. Kemampuan manusia dalam berfikir disertai dengan keutamaan (aretĂȘ) dalam jangka panjang dapat membuat manusia bahagia[4]. Dalam pandangan metafisika Aristoteles, manusia sempurna adalah substansi dan kebahagiaan adalah aksiden yang bersifat tidak tetap dan selalu berubah. Dalam pemikiran Aristoteles tentang kebahagiaan, uang sebagai “adaan” (being) dalam hubungannya dengan manusia adalah membahagia. Uang menjadi sarana untuk mendapatkan pendidikan, untuk rekreasi (menambah pengalaman), untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dimiliki untuk meningkatkan kualitas hidup dan sebagainya.

Lalu bagaimanakah caranya agar seseorang dapat memiliki uang untuk dipertukarkan? Segala sesuatu yang dipertukarkan berasal dari sesuatu yang dimiliki kemudian dipertukarkan dengan uang termasuk tenaga kerja. Tenaga kerja adalah harga awal yang kemudian digunakan untuk dipertukarkan untuk segala sesuatu yang akan dipertukarkan (dibeli). Ketika seseorang memiliki kekayaan, ketika itu pulalah dirinya dapat mengadakan sesuatu tergantung dari jumlah kekayaan yang dimilikinya. Adam Smith kemudian mengutip Hobbes bahwa kekayaan adalah kekuatan. Dengan uang seseorang dapat memiliki beragam jenis sesuatu dan semakin banyak kekayaan atas uang yang dimilikinya seseorang dapat memiliki segala sesuatu secara lebih beragam. Keberadaan uang sebagai being menjadi bagian terhadap sesuatu yang lain untuk mengkaya. Uang terhadap uang lain dan terhadap sesuatu yang lain menjadi aksiden-aksiden terhadap manusia sebagai substansi.

Dalam perkembangan antar waktu, uang sebagai being terhadap being lainnya menjadi lebih kuat peranannya terhadap sesuatu yang lain dalam proses mengkaya. Hal ini disebabkan karena sifat kemudahannya untuk dipertukarkan, terutama ketika seseorang sudah memiliki sesuatu yang lain. Semakin mudah sesuatu untuk dipertukarkan mempengaruhi seseorang untuk memiliki, menguasai sesesuatu tersebut. Bahkan kepemilikian (kepenguasaan) atas sesuatu yang lebih mudah dipertukarkan tersebut menjadi penentu keberadaan manusia terhadap manusia lain ketika barter sudah terhenti. Hal ini terjadi juga terhadap tenaga kerja. Seorang produsen (yang menghasilkan sesuatu) akan menukarkan sesuatu yang dihasilkannya dengan sejumlah uang tertentu dan menukarkan uangnya untuk tenaga kerja dan sesuatu yang lain. Selisih antara pertukaran sesuatu dengan uang dan uang yang dipertukarkan terhadap sesuatu akan dimilikinya sebagai kekayaan. Selisih ini disebut keuntungan.keuntungan dalam rentang waktu yang panjang akan bertambah. Bagi seseorang yang tidak memiliki barang namun hanya memiliki kemampuan bekerja dalam waktu tertentu, akan menukarkan kemampuan bekerjanya untuk uang yang akan dipertukarkan dengan barang (sesuatu) yang tidak dimilikinya. Uang kemudian memiliki “daya pikat” karena kemudahannya. Uang menjadi titik temu manusia ketika mereka membutuhkan uang dan sesuatu. Lalu mengapa air tidak lebih berarti terhadap berlian? Dalam arti uang, berlian lebih menjanjikan dapat dipertukarkan dengan banyak uang daripada air meskipun air memiliki peran vital bagi kehidupan manusia. Manusia akhirnya tidak konsisten dalam pertukaran, tidak lagi didasarkan atas utilitas, manfaat terhadap kehidupan manusia, namun lebih didasarkan atas kepenguasaan uang dalam hidup mengkaya. Sementara azas mengkaya berbeda dengan azas membahagia. Uang tidak menentukan kemampuan berfikir manusia untuk semakin sempurna.

Plato melihat bahwa kebahagiaan yang ditunjukkan dengan kepemilikan terhadap kekayaan adalah contoh saja dari universalitas kebahagiaan itu. Setiap orang memiliki kebutuhan utama yang sama yaitu kepemenuhan kebutuhan hidupnya. Meskipun kepemenuhan kebutuhan manusia adalah universal, kepemenuhan kebutuhan dengan kepemilikan kekayaan bersifat subyektif. Ada orang merasa bahagia dengan memiliki uang banyak, namun ada orang yang bahagia memiliki sedikit uang. Dalam pengertian tersebut, maka uang menjadi “terbatas”. Uang terbatas bermakna pada sesuatu yang bersifat pengganti atas sesuatu yang lain yang dipertukarkan untuk sesuatu yang baru (yang tidak dimiliki). Dalam hal ini uang tidak memiliki arti untuk “digandakan” atau “dikembangkan” lebih besar lagi, karena uang memang seperti adanya, menjadi alat tukar, bukan menjadi hal utama seperti sesuatu yang menjadi harapan pertukaran itu. Tiap-tiap benda harus berfungsi menurut tujuannya. Tujuan uang adalah tukar-menukar bukan menghasilkan buah-buah, sebagaimana halnya dengan pohon. Uang tidak boleh digunakan untuk menghasilkan bunga, karena bunga adalah cara menambah kekayaan dengan sembarangan.

Namun dalam perkembangannya uang Uang tidak lagi menjadi sarana alat tukar untuk sebuah utilitas, dengan alasan memaksimalkan keuntungan, uang dipertukarkan untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Uang tidak lagi berfungsi sebagai alat tukar, uang bisa diperdagangkan di pasar uang. Konsep “hutang-piutang” secara komersiil adalah memberikan uang untuk dipergunakan oleh pihak lain dan dikembalikan dengan “harga uang” atau bunga. Bunga ini menunjukkan bahwa uang memiliki “nilai” yang dapat dipertukarkan.Pandangan Aristoteles menjadi sulit dimengerti dalam konteks peradaban modern. Uang bukan hanya menjadi “terbatas” sebagai alat tukar namun meluas menjadi alat spekulasi. Terlepas dari persoalan etis, kesalahan dalam memahami makna metafisis uang mungkin mengakibatkan etika yang keliru terhadap uang.***


-------------------------

[1] Seperti pada awalnya pertukaran terjadi, Adam Smith (1776) menyatakan bahwa nilai uang mencerminkan dua hal sekaligus yaitu “value of utility” dan “value of exchange”. Adam Smith dalam salah satu karyanya An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations menyatakan bahwa: The word VALUE, it is to be observed, has two different meanings, and sometimes expresses the utility of some particular object, and sometimes the power of purchasing other goods which the possession of that object conveys. The one may be called 'value in use’, the other, 'value in exchange.' The things which have the greatest value in use have frequently little or no value in exchange; and, on the contrary, those which have the greatest value in exchange have frequently little or no value in use. (Smith., A., An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, London; Meuthen & Co., 1904, hal. 45)

[2] Ibid. hal. 304

[3] M. Nurul Huda (2005) Pemikiran Ekonomi Aristoteles dalam Jurnal Filsafat Driyarkara Th XXVIII No 2/2005, hal 33-36.

[4] Bertens., K (1999), Sejarah Filsafat Yunani, hal 193-200.

No comments: