Tuesday, January 04, 2011

“Diri” Menurut Filsafat Stoik dan Neoplatonisme

Seseorang memiliki badan dan jiwa. Jiwa erat berhubungan dengan “batin”. Neoplatonisme mengakui bahwa “jiwa” (psukhe) dan “badan” (“tubuh”) adalah “dualitas”. Tubuh adalah kubur bagi jiwa dan jiwa yang berada di dalam tubuh seperti berada dalam penjara. Oleh karena itu Neoplaonisian menjelaskan (a) purifikasi jiwa lewat penjarakan dari sesuatu yang bersifat ragawi, (b) pengetahuan dan pelampauan dunia inderawi, dan (c) conversio ke intelek dan penyatuan dengan Yang Satu, Yang Total. Tahap-tahap tersebut hanya bisa di peroleh lewat askesis (latihan).

Jiwa adalah esensi murni yang mendapatkan penambahan yang tidak perlu sehingga diperlukan conversio ke yang esensial, jiwa perlu menyederhanakan diri. “Latihan mati” perlu dilakukan sebagai sebuah wacana teoritis (pengetahuan) dan praktik latihan untuk menyatu kembali dengan Yang Satu. Dan bagi Platon kesatuan ini “dipelajari” dari gurunya, Sokrates, yang berani mati demi sebuahh nilai. Ia memilih mati daripada mengingkari apa yang dia yakini sebagai tugas dalam hidupnya. “Belajar mati” adalah segala keinginan untuk hidup musti ditundukkan pada tuntutan yang lebih tinggi; pemikiran rasional. Kisah pemahat yang menghilangkan “ikatan-ikatan tubuh” perlu dilakukan untuk keutamaan yang jernih dan Ilahi. Jiwa menjadi tidak otonom karena tergantung pada tubuh dan melulu mengikuti perkembangan rasio. Jiwa terikat pada hasrat dan nafsu yang bersifat particular dan subyektif. Dengan “pahatan” diri maka sudut pandang manusia menjadi terbuka, otonom, bebas, untuk memeluk yang obyektif, universal, dan rasional. “Latihan mati” dapat diartikan menundukkan hasrat buta dan nafsu (epithuma dan thumos). Dengan upaya rasional, hidup manusia bisa diupayakan kepada Kebaikan lewat rasio, menjauhkan diri dari kebinatangan yang ada untuk mendekatkan kepada yang Ilahi, intelligible, dan kekal.

Kesadaran (consciousness) adalah pusat. Kesadaran menjadi garis pembatas antara kesunyian ketidak sadaran hidup dalam Tuhan dan ketidak sadaran hidup dalam tubuh. Seseorang tidak akan “menjadi” seperti “yang diharapkan” jika tidak sadar akan hal itu. Kesadaran dicapai dengan “memahami” akan gerakan kehidupan jiwa, yang menggerakkan hati, maka kehidupan jiwa akan memberikan “kesadaran”. Tubuh yang kehilangan kesadaran akan kehidupan jiwa adalah jiwa yang runtuh.

Bagi kaum Stoicisme Imperial, rasa kemerdekaan diri (autarkeia) diperoleh karena diriku selaras dengan kosmos besar yang mengelilingiku. Diriku meluas, menyatu dengan hokum kosmik; Rasio, Dike (Takdir, Hukum, Keniscayaan). Bagi mereka berfilsafat (menjadi bijak) adalah mencari jalan meraih kehidupan yang harmonis dengan kosmos. Terdapat dua ajaran kaum Stoik yaitu; wacana filosofis dan filsafat itu sendiri. Sebagai wacana filosofis, artinya sebagai jalan hidup, tentang fisika, dan logika. Hal ini adalah filsafat di tataran praktis kaum Stoik. Teori atau wacana filosofis adalah untuk membantu sebuah cara hidup filosofis. Mendiskusikan tesis-tesis filosofis tidak memiliki arti apapun untuk conversio. Lebih baik melakukan sesuatu, menghasilkan karya atas pencernaan terhadap tesis filosofis akan membuat hidup beralih dari yang tidak autentik menjadi autentik. Conversio tersebut akan membuat orang akan sadar dengan dirinya sendiri dan memiliki pandangan yang tepat tentang dunia, dan akhirnya mendapatkan kedamaian dan kebebasan batin. Cara hidup ini juga akan menampak pada terapi atas nafsu-nafsu. Filsafat memberikan batasan dengan jelas bahwa kebaikan dan kemalangan yang mau dicari atau dihindari tergantung sepenuhnya pada kebebasan manusia, tergantung pada jiwa manusia.

Biasanya kita member nilai kepada realitas dunia sesuai dengan nafsu-nafsu kita dengan mengikuti criteria subyektif manusiawi kita. Sekarang dengan cara pandang kaum Stoik, hal itu dipilah lagi karena ada yang tidak tergantung pada diri kita dan harus diletakkan di bawah criteria “peristiwa niscaya” yang sepenuhnya tergantung pada alam. Kemurnian sangat penting bagi kaum Stoik. “perhatian yang murni” (prosoche) diperoleh bila selalu sesuai dengan kehendak Logos universal (kosmis). Kewaspadaan menjadi kunci latihan batin. Kewaspadaan dan perhatian yang murni memberikan kesadaran akan “ketegangan batin” dalam diri manusia, yang ekmudian meluas, berkembang menjadi konflagrasi final dan dari kobaran Api (Logos) akan terbentuk semesta baru yang identik, “semua kembali secara abadi”.

Epiktetos (tokoh kaum Stoik) menunjukkan bahwa apa-apa yang tergantung pada diri kita adalah wilayah yang bisa kita tangani (proairesis, segala sesuatu yang muncul dari kehendak dan tindakan bebas kita). Gerakan diri (interioritas) bisa diikuti, dirasakan dan “dikendalikan”. Jiwa adalah pusat otonomi manusia. Dalam jiwa terdapat kendali (hegemonikon) yang mengatur gerakan interioritas. Hal-hal yang ekterior, asing dari yang paling inti tidak tergantung pada diri.

Askesis dilakukan sebagai upaya supaya hidup sesuai dengan Logos. Askesis dilakukan dengan mengelola hasrat terhadap sesuatu maupun menolak sesuatu (aversion). Askesis secara ageree contra atas hasrat dan dorongan bertindak dilakukan dengan untuk menolak dorongan dengan melakukan kebalikan. Selain itu dapat juga dilakukan secara positif, melakukan yang secara teoritis sudah diterima. Dengan demikian diri manusia bisa memilah hal mana yang bersifat ekterior dan interior. Namun askesis menurut kaum Stoik tidak sampai pada keterlibatan diri atas penderitaan orang lain. Askesis Stoik hanya membantu untuk indifferent di depan penderitaan, berbeda dengan sudut pandang creationist yang memberikan perspektif secara radikal; berbuat baik adalah wajib, berempati pada kaum papa adalah keharusan, karena ada Pencipta, dan bahkan Pencipta itu sendiri melakukan hal-hal itu untuk dicontoh ciptaanNya.***

No comments: