Monday, May 29, 2006

Jogjakarta, Sabtu 27 Mei 2006, Kami selamat!

Sabtu pagi 27 Mei 2006, jam 5.00 pagi kami check out dari Hotel Santika Jogja setelah sejak hari senin kami menginap di sana. Kami berada di airport Adisucipto sejak jam 5.20. Setelah chek in di counter Garuda kami masuk ke waiting room, rencananya kami akan menunggu di ruang tunggu di Executive lounge, namun belum buka, dan kami keluar di Executive Lounge Citibank. Sekitar 10 menit kemudian kami kembali ke waiting room.

Saat itu saya tahu di Gate 3, petugas siap membuka boarding untuk GA 201, namun karena banyak orang duduk dan berdiri di sana kami tidak tertarik duduk di sana, selain karena membatasi ruang gerak Bastian (anak saya) saya juga tidak suka berjubelan kalau antri boarding. Akhirnya kami duduk di kursi kosong di ujung dekat toko buku (Java Book Store?). Yassinta (istri) jalan-jalan sambil "netah" Bastian di toko buku itu. Bastian senang bukan main. Lalu dia kembali di sekitar pintu kaca dan dengan senang melihat pesawat.

Pada saat itu saya duduk di kursi tunggu Yassinta dan Bastian jalan-jalan melihat pesawat di sekitar pintu keluar. Tiba-tiba ada suara bergetar, saya fikir karena pengaruh mesin jet pesawat yang sedang menghidupkan mesinnya. Ada tiga pesawat saat itu Wings Air, Merpati Air, dan Garuda. Kami naik Garuda GA 201, boarding jam 5.50 pagi.Ternyata tidak hanya suara yang gemuruh, juga lantai ikut begetar, saya terkejut.

Ini gempa! Lalu saya teriak memanggil Yassinta, namun meski banyak orang gaduh saat itu saya tidak melihat mereka... Saya lari ke pintu.. saya terpelanting di jalan keluar pintu... dan saat itu saya nengok ke belakang.. Ternyata Yassinta dengan histeris memeluk Bastian di teras. Yassinta melihat saya dan dia lari ke arah saya dengan jarak sekitar 3 meter ke depan. Dia jatuh di pelukan saya dan Bastian di tengah-tengah pelukan kami sambil menunduk dan Yassinta masih berteriak-teriak histeris.. Saat itu kami melihat ke arah waiting room dan bersamaan dengan runtuhnya gedung (waiting room) airport... Ya Tuhan..... Ada banyak orang tertinggal di dalam...

Dan saat itu baby troley Bastian dan tas minumnya ada di samping kami, kami tidak tahu siapa yang mengeluarkan. Kami beruntung karena Bastian bisa minum susu dan makan pagi.Kami mencoba lari menjauh namun kami tidak bisa lari lagi karena bumi bergoyang keras sekali. Lalu goncangan-goncangan susulan terjadi terus... Saya mulai bergerak menjauh dari pesawat. Saya takut jika ada goncangan lebih besar lagi dan mempengaruhi pesawat yang sedang parkir. Kami lari ke arah run way. Kami duduk di sana, dan goncangan masih terjadi. Kami melihat kepulan asap di bandara. dan korban yang tergeletak di sekitar pintu keluar pintu boarding. Lalu kami berpelukan dan Yassinta berdoa. Saya sempat bilang ke Yasinta saat itu, "Kamu ingat kan, kalau kita mati kita akan mati bertiga, kalau kita hidup kita hidup bertiga". Bastian tertidur dipelukan saya, setelah minum susu.

Saya coba telpon saudara dan semua telpon mati. Kami istirahat menenangkan diri. Tiba-tiba kami dapat telpon dari adik Yassinta (Vitri) yang menyatakan dia dan ibu selamat, hanya lecet-lecet, tapi rumah Yassinta dan rumah Kakek hancur rata dengan tanah. Kakek dan Om yang menolong kakek luka. Setalh itu telpon terputus. Yassinta menangis lagi karena kawatir dengan situasi keluarganya.Setelah itu kami menikmati bekal bersama-sama dengan penumpang lain yang duduk disekitar kami. Beberapa menit kemudian ambulans datang menolong korban di yang luka. Kami dipanggil oleh pihak Garuda, dan dikatakan semua flight cancelled. Yassinta yang datang ke pihak Garuda sambil membawa boarding pass kami bertiga dan ketika dia ditanya nomor telepon dia tidak tahu sama sekali. Dia kembali dan guncangan terjadi lagi. Yassinta histeris lagi. Lalu Yassinta gantian menggendong Bastian, dan saya menjelaskan nomor telepon ke Garuda, dan saat itu diberitahukan oleh pihak Airport semua flight terbang pagi ini. Bagi penumpang yang ingin cancell bisa refund. Kami berunding, berangkat atau tidak. Saya katakan ke Yassinta, kalau kita batalkan ke Jakarta, kita tidak tahu apa yang terjadi di luar sana. Semua orang yang di airport, bahkan petugasnyapun tidak tahu. Bahkan seorang petugas di ground service mengatakan kepada kami, "Apa yang terjadi pada keluarga kamipun kami tidak tahu", kata dia sambil melayani air minum ke kami dan sambil menangis. Benar-benar mencekam saat itu.Seorang petugas Garuda meminta kami meng konfirm bagasi dan bagasi kami di keluarkan dari pesawat. Kami mengira, Garuda 201 tidak jadi terbang, ternyata jadi terbang. Saya berhasil telpon saudara di rumah Bekasi (sekitar jam 7.30 pagi), dan ternyata tidak ada gempa di Jakarta. Dan, kami putuskan untuk terbang ke Jakarta, sebab jika kami tinggal di Jogja, kami bertiga bisa menjadi korban, dan mesti nanti keluarga lebih memprioritaskan Bastian karena dia anak kecil, dan kami jadi dilayani oleh mereka. Ini bisa menambah korban, pikir saya. Dan saat itu kami kembalikan lagi bagasi ke dalam pesawat sekaligus keretanya Bastian. Pilihan kembali ke Jakarta sebenaranya pilihan sulit, selain itu karena goncangan masih sering terjadi, kami khawatir kalau saat pesawat take off tergelincir karena goncangan. Saya sadar resiko ini, Saya percaya kalau Dia sudah mengijinkan kami hidup kedua kalinya, maka kami pasti tidak akan ada masalah.

Kami mulai di daftar naik ke pesawat dan kami di prioritaskan karena Sebastian. Kami duduk di kursi 14 D dan 14 E. Kami berdoa bertiga. Kami berterima kasih karena kami diselamatkan, dan kami berdoa semoga Jogja tidak separah kekhawatiran kami dan saudara kami selamat. Penumpang yang berangkat sejumlah 45 orang saja. Semua diam dan panik. Kami mendapat penjelasan dari pramugari bahwa gempa ini gempa tektonik. Saat pintu pesawat di tutup, dan pesawat mulai berjalan ke arah run way tiba-tiba pesawat berhenti. Pilot mengatakan bahwa kita tidak diijinkan terbang karena ada tsunami di pantai selatan.Setengah jam kemudian diijinkan. Kami diam dan kami berhasil take off dengan GA 201. Sungguh hebat pilot itu, sangat berani.

Saat mulai take off kami melihat ke bawah... "Ya Tuhan... Jogja hancur..." Bastian mulai bangun, dan mulai ingin jalan-jalan lagi. Tapi kami bilang ke Bastian, "Bas, sekarang dalam kondisi emergency, jadi kita tidak bisa bebas seperti kondisi normal. Kita nanti jalan-jalan lagi kalau sudah sampai rumah. Bastian mengerti lalu Yassinta menyuapi Bastian... dan dia tertidur lagi.Ada banyak pikiran saat itu. Semuanya tidak jelas. Saya coba telpon ibu mertua, dan saat itu bisa kontak. Yang jelas rumah Yassinta dan Kakeknya hancur. Begitu sampai di airport Jakarta kami ambil taksi Blue Bird ke Kelapa Dua, Depok. Dan kami tidak bisa komunikasi lagi ke Jogja. Tiba-tiba saya mendapat SMS dari adik sepupu bahwa sekeluarga ada di Rumah Sakit Bethesda, adik sepupu saya keruntuhan rumah. Saya menangis.Sampai sore hari kami mencoba "hidup normal" dengan Bastian, meski SMS dari teman baik yang menanyakan kondisi kami maupun kami mencoba komunikasi ke Jogja.

Hingga sore hari saya khawatir dengan keluarga saya, karena saya belum mendapat kabar, kecuali berita di TV sebuah gedung olahraga di dekat rumah saya hancur. Saya mencoba telepon di rumah sakit di Jogja.Sampai malam hari baru saya bisa SMS adik ipar saya, katanya semua keluarga saya selamat. Rumah juga tidak hancur. Namun semua tidur di luar tanpa listrik dan telepon, tanpa makanan, dan tidak ada tenda. Gelap gulita dan gempa hingga hari Sabtu malam jam 8 malam gempa susulan masih terjadi. Sedangkan keluarga Yassinta tidur di alun-alun utara dekat Kraton. Ibu dan adik mengungsi ke Sleman, rumah kakak dari ibu Yassinta. Adik ipar saya, melalui SMS mengatakan hujan mulai turun.Beberapa kenalan seperti kelompok tani organik mulai minta bantuan via SMS, tidak ada listrik dan hujan deras. Lengkap sudah penderitaan itu dan saya tidak bisa apa-apa.

Anyway, kami belum tahu bagaimana sebaiknya, namun dalam waktu dekat saya perlu ke Jogja, jika Yassinta merasa baik dan bisa ditinggal sebentar. Sebab sulit juga menjaga perasaan saat harus bergembira dengan Bastian, dan pada saat yang sama mendapatkan informasi yang semakin buruk di Jogja. Hingga hari ini tidak ada bantuan yang significant yang dilakukan pemerintah maupun INGO, kecuali orang Jogja sendiri. Ada kabar mulai dikirimkan, tapi untuk di Pundong Bantul sendiri selama hari Sabtu hingga Senin ini korban meninggal sudah bertambah 5 anak, karena kedinginan (terlambat mendapatkan pertolongan). Artinya mereka meninggal bukan karena gempa, namun karena jeleknya sistem penanganan bencana di Indonesia. Mereka meninggal karena terlambat mendapatkan pertolongan. Mereka meninggal karena negara!

Meski kami jarang ke gereja, peristiwa ini menyakinkan saya bahwa melalui relasi yang sangat personal dengan Tuhan, kami bertiga "DISELAMATKAN" untuk kedua kalinya.

Untuk semua korban... Kami sujud dihadapanmu!


Jakarta, 27 Mei 2006, 23.00wib