Tuesday, January 22, 2013



Tentang KEADILAN




Ave Maria, Where is the justice in this world?
The wicked make so much noise, mother..
The righteous stay oddly still
With no wisdom, all of the riches in the world leave us poor tonight

And strength is not without humility
It's weakness, an untreatable disease
And war is always the choice
Of the chosen who will not have to fight
...

Demikianlah, ketika lagu tentang Ave Maria itu dinyanyikan dan digubah liriknya oleh Bono, lagu itu menjadi memiliki "dudukan" yang lebih konkret. Bukan lagi bernuansa "worship" namun sebagai "protes" mengapa dalam kebaikan ada ketidak adilan? Di manakah kebaikan itu ketika ketidak adilan hadir? Tulisan ini bukan untuk menjelaskan perkara teodise, namun menyoal keadilan itu sendiri, yang selalu terikat dalam moralitas.

Pada saat kita mendengar kata “keadilan” seringkali kita secara langsung berfikir mengenai dua hal yaitu; mengenai hukum dan kesejajaran. Keadilan memiliki ketergantungan pada dua hal yaitu kepenuhan hukum dan kesejajaran. Maka “keadilan” kemudian adalah kepenuhan hukum dan adil, ketidak adilan adalah tidak ada hukum dan tidak adil. Dua makna ini menjadi penting dan saling berhubungan. Semua tindakan hukum harus memenuhi tindakan keadilan, demikian dinyatakan Aristoteles. Namun Pascal menyelidiki bahwa hukum itu sendiri bukanlah keadilan. Lalu keadilan manakah yang seharusnya? Apakah keadilan harus diwujudkan sebagai fairness? Apakah itu mungkin? Sementara hukum lebih mengutamakan prosedur dan milik pemegang otoritas. Dimanakah hukum yang fair dan mengandung kedua makna secara sejajar yaitu adil dan kesetaraan? Ulasan di bawah ini akan menjelaskan hukum sebagai etika, dimana hukum menjadi dasar keutamaan untuk bertindak secara etis.

Seperti seorang anak kecil yang masih senang bermain, seorang anak bisa mengatakan ada ketidak fair-an pada dirinya ketika dirinya memiliki sesuatu lebih sedikit daripada yang seharusnya. Dan ketika dirinya sedang bermain mungkin dirinya yang sedang memperjuangkan fairness dianggap melakukan kecurangan karena tidak mengabaikan peraturan permainan yang baik tertuli maupun tidak tertulis. Demikian pula dalam dunia orang dewasa, dalam konteks keadilan social, akan mengkritik terhadap kesejangan sosial yang dihadapinya. Sebaliknya kita bisa mengatakan seseorang sedang melakukan pelanggaran hukum atau tidak peduli tehadap kepentingan orang lain, ketika dirinya hanya membagi sebagian yang baik pada dirinya dan membagikan keseluruhan yang buruk padanya. Dalam hal ini keadilan seperti bergantung kepada dua hal sekaligus; hormat pada legalitas dan kesetaraan antar individual. Aristoteles menyatakan bahwa “Keadilan adalah kepenuhan hukum dan fairness, ketidakadilan adalah ketidak penuhan hukum dan tidak fair.” Keduanya saling berhubungan erat, keadilan mensyaratkan kesetaraan sebelumnya. Tidak ada perbedaan yang membedakannya. Pendapat iniberbeda dengan yang dinyatakan Pascal bahwa keadilan adalah yang ada dan diakui, sehingga semua hukum yang ada dan diakui penting untuk selalu dirujuk sebagai keadilan tanpa pengujian, karena dirinya ada dan diakui.

Hukum sebagai fakta legal (legalitas) lebih penting daripada hukum sebagai nilai (legitimasi). Maka menjadi tidak mungkin ada keadilan jika keputusan hukum tidak diwajibkan di letakkan pada hukum, termasuk klausul-klausul di dalamnya diatas, diatas moralitas yang berlaku. Tanpa legalitas tidak ada negara, dan tidak ada system legal, tidak ada aturan hukum. “Auctoritas, non veritas, facit legem.” Autoritas, bukan kebenaran, yang menentukan hukum. Hobbes sangat memegang kata-kata itu dan dirinya juga mengakui kebenaran demokrasi. Hukum dibuat oleh kaum mayoritas bukan oleh kaum cerdik cendekia. Judicial positivism (positivisme keadilan) sebagai doktrin. Lalu dimanakah keadilan itu berada?

Masih mengacu pada pernyataan Hobbes, kedaulatan menentukan segalanya, dan yang ditentukan kedaulatan adalah hukum melalui definisi yang dibuatnya. Pascal kemudian menyatakan kembali; “ Tidak ada keraguan bahwa kesamaan atas barang adalah keadilan”. Namun keadilan memutuskan yang berbeda; hukum memberikan perlindungan terhadap kepemilikan pribadi, praktek di dalam demokrasi modern tidak memiliki perbedaan pada saat kehidupan Pascal. Dan, pada saat itu terjadilah ketidak setaraan (inequality) dalam kepemilikan karenanya. Lalu ketika kesetaraan dan legalitas tidak saling sejajar dimanakah keadilan itu?

Di dalam filsafat kuno Yunani diskusi mengenai menjaga keharmonisan atas keseluruhan menjadi penting. Namun ketika disodorkan pertanyaan mengenai perlunya distribusi yang sama dan rata kepada semua orang, meskipun terdapat banyak perbedaan baik kendala personalnya maupun tanggungjawabnya, tema diskusinya menjadi berubah. Kaum filsuf banyak yang berbeda pandangan mengenai perlunya menjaga kesamaan secara identik pada ketidak samaan manusia, dan kebebasan terhadap kesetaraan. Keadilan memicu perselisihan, hal ini secara mudah dikenali dan tidak menimbulkan perselisihan. Mayoritas adalah jalan terbaik dalam perselisihan tersebut, karena mayoritas itu nampak (visible) dan memiliki kekuatan untuk dipatuhi.

Konsep Rousseau mengenai kehendak (kepentingan) umum berguna untuk menjelaskan hal ini, namun meragukan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak umum selalu adil, sehingga kesahihannya tidak dapat tergantung pada ke-“adil”-an. Meskipun terdapat pembatasan pengertian bahwa keadilan adalah (terhadap) kehendak umum namun hal ini tidak memberikan jaminan apapun bahwa akan “adil”. Dan hal ini dapat dimaknai bahwa keadilan bukanlah fakta legal (legalitas) tetapi nilai atau norma kebajikan.

Hal kedua yang penting adalah moralitas yang lebih daripada moralitas di dalam hukum. Ketika hukum bertindak tidak adil, maka ketidak adilan itu melukai hukum. Socrates telah mengajarkan kecintaannya kepada hukum, dirinya memilih mati di dalam hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Socrates menghindari kerumitan untuk menjelaskan relasi keadilan terhadap legalitas. Kepahlawanan Socrates didasarkan pada perdebatan prinsip dimana seseorang yg tidak berdosa dikorbankan kepada hukum meskipun dirinya telah melakukan tindakan kriminal. Hukum bukan dilakukan dengan dasar mengorbankan keadilan apalagi mengorbankan orang tidak berdosa. Hukum perlu dihormati dan dipatuhi serta dipertahankan. Moralitas dan keadilan hadir sebelum legalitas, setidaknya pada saat yang esensial perlu diperhatikan. Kebebasan bagi semua orang, jalan hidup masing-masing individu, dan hak-hak manusia adalah esensial. Hal inilah yang dijaga oleh hukum. Jika kepatuhan mempersyaratkan kita untuk mengharapkan keadilan atau toleran terhadap intoleransi, maka tidak akan ada negara republik maupun negara demokrasi. Namun tidak setiap ketidak adilan hukum harus tidak dipatuhi, hal ini tidak dapat diselesaikan sekaligus dan untuk keseluruhannya. Kadangkala hak untuk melakukan sesuatu harus dilakukan secara diam-diam dan dengan perjuangan. Namun kadang juga dapat dilakukan dengan kepatuhan atau ketidak patuhan secara diam-diam. Tentu saja hal ini akan lebih baik jika keadilan dan hukum itu “menyatu” dan kewajiban moral setiap warga negaranya adalah memperjuangkan tujuan utamanya. Keadilan bukan milik siapa-siapa, namun setiap dari kita memiliki kewajiban moral untuk mempertahankan keadilan. Keadilan tidak mungkin tampak dalam partai. Keadilan tidak ada di dalam institusi, keadilan hidup di dalam pribadi-pribadi. Bahkan untuk sebuah norma, keadilan tidak eksis di dalamnya. Keadilan hidup di dalam pribadi masyarakat.

Namun jika keadilan hidup di dalam pribadi-pribadi, lalu apakah hukum juga ada di dalamnya? Tentu saja tidak jika hukum muncul (tampak) sebagai sikap yang tidak adil. Hal ini termasuk juga tentang moralitas hukum, apakah seseorang menghidupi moralitas hukum? Kant justru mempertanyakan untuk apakah menghidupi moralitas hukum? Moralitas hukum itu eksis dan kita semua tahu tentang hal itu. Kita membutuhkan sedikit orang yang bertindak adil, karena dengannya mereka akan menderita. Kant misalnya berfikir bahwa dirinya akan lemah secara hukum, setidaknya dalam hal idea tentang keadilan, jika diterapkan hukuman mati bagi semua pembunuh. Ketidak sepahaman tentang hal ini penting untuk mengungkapkan esensi keadilan di dalamnya.

Hal ini juga berlaku dalam hal pengukuran hukuman. Hukum menjawab keseluruhannya, namun keadilan tidak. Hal ini mirip dengan tindakan mengajar bagi seorang guru mengenai siapakah yang akan diberikan penghargaan? Apakah yang memiliki kemampuan atau memiliki motivasi? Bagaimana standar dapat diterapkan? Seorang guru akan berusaha dengan terbaik menjawabnya. Bagi mereka yang menjawabnya, terutama yang tidak mengerti tentang keadilan akan memahami dan menimbang resiko dan ketidak pastian. Seperti ungkapan Pascal; “ Ada dua kategori manusia yaitu yang selalu benar yang selalu merasa berdosa dan yang merasa selalu berdosa dan selalu merasa yang benar”. Kita tidak tahu berada di mana di dalam kategori tersebut, jika kita tahu kita akan tahu bahwa kita sudah berada di salah satunya.

Seperti makna kata “equity” yang berasal dari kata aequus, yang berarti setara yang bersinonim dengan keadilan jika berada di atas makna keadilan sebagai kesempurnaan. Ide kesetaraan direflekasikan dengan dua buah timbangan. Keadilan adalah harapan akan kebajikan dan membutuhkan saling setara dan saling jujur. Keadilan mirip dengan transaksi perdagangan, namun hanya jika seseorang yang menerapkannya mendapatkan manfaat dari tindakan yang saling adil.***




Thursday, August 23, 2012

Atheisme Sartre; Eksistensi Mendahului Esensi




Jean Paul Satre (1905-1980), lahir dari pasangan Anne Marrie Schweitzer dan Jean Paul Baptiste Sartre. Ayahnya Jean Paul Baptise Sartre meninggal ketika dirinya masih kecil. Ia tinggal bersama kakeknya; Charles Schweitzer. Sartre sempat mengajar di Perancis. Pada tahun 1939-1940 dirinya menjadi tentara dan kemudian sempat menjadi tawanan perang. Sartre menjadi terkenal setelah Perang Dunia kedua.

Sartre hidup tanpa pernikahan yang sah dengan Simone de Beauvoir, adik kelasnya sekaligus pesaingnya dalam ujian filsafat sewaktu sekolah di Sekolah Elit (École Normale Supérieure) Filsafat di Perancis. Sartre akhirnya berpacaran dengan Simone de Beauvoir. Hubungan keduanya menjadi terbuka ketika kematian Sartre, dengan ditandai oleh terbitnya kumpulan Surat Cinta Sartre, dan diterbitkan sendiri oleh Simone de Beauvoir. Simone kemudian menerbitkan surat cintanya kepada Sartre termasuk surat-surat pribadi Sartre pada masa perang. Setelah penerbitan ini, Bianca Lamblin menuliskan pengalamannya dalam “tragedi” percintaan segitiganya dengan Sartre dan Simone. Bianca Lamblin adalah murid Sartre di kelas filsafat, yang kemudian “diumpankan” kepada Sartre oleh Simone.

Pemikiran Sartre tentang eksistensialisme ditandai dengan karya-karya utamanya pada yaitu L’Etre et le Néant, essai d’Ontologie Phénomenoloique (“Keberadaan dan Ketiadaan, Esai tentang Ontologi Fenomenologis”) dan tiga tahun kemudian Sartre menerbitkan L’Existentialisme est un humanisme (“Eksistensialisme adalah Humanisme”). Filsafat eksistensialisme Sartre mulai muncul ketika Sartre merasa kebahagiaannya “terenggut” saat kakeknya membawanya ke tukang pangkas rambut dan dirinya saat itu menemukan bahwa dirinya jelek, dengan mata juling dan perawakan mirip kodok. 

Sejarah masa kecilnya ini terkait erat dengan konsep filsafat Sartre mengenai l’autre (“yang lain”). Yang lain melalui “tatapan mata” (le regard) membuat dirinya menderita, sehingga orang lain adalah neraka. Melalui pengalaman hidupnya ini Sartre ingin mengemukakan bahwa “jelek” itu ada akibat relasinya dengan orang lain (pour-autrui; yang lain). Artinya “keburukan” itu ada karena yang lain. Demikian pula sebaliknya, ketampanan itu ada karena yang lain. Adanya yang lain ini “dianggap” sebagai sumber kejatuhan dirinya. Baginya tampan atau jelek tidak begitu penting, karena “yang lain”, maka “yang lain” perlu dihilangkan.

Pokok Penting Filsafat Sartre 

Filsafat Sartre pada intinya adalah menjelaskan relasi antar manusia, relasi manusia satu dengan manusia lain. Di dalam relasinya, kesadaran manusia terlibat. Kesadaran dalam berelasi bertemu dengan kesadaran lain. Relasi kesadaran satu dengan kesadaran lain ditandai dengan relasi subyek-obyek. Seseorang dapat mengobyekkan yang lain dan yang lain dapat melakukan sebaliknya. Relasi ini terjadi karena “menidak”, yaitu seseorang berelasi karena kesubyektifannya sendiri. Dirinya dapat menidak yang lain. Menidak adalah tanggapan kesadaran subyek terhadap yang lain. Kesadaran dapat menidak yang lain. Yang lain dapat menidak subyek. Dengan demikian relasinya menjadi dialektika. Dalam dialektika itu seseorang berusaha menidak yang lain dan yang lain menidak seseorang. Ketika seseorang ada tanpa orang lain maka dirinya tidak dapat mengobyekkan dirinya sendiri, pengobyekan hanya ada ketika bersama orang lain. Ketika bersama orang lain kemungkinan yang terjadi adalah konflik karena yang satu menidak yang lain dan sebaliknya. Masalahnya ketika ditidaki yang lain maka kebebasan diri subyek akan terancam. Setiap kesadaran selalu dalam situasi konflik potensial dengan kesadaran lain.

Sartre memberikan kritik kepada Hegel (1770-1831) bahwa roh absolut menentukan sejarah manusia, bahwa sejarah menentukan kehidupan manusia. Bagi Sartre “man makes himself”, bahwa manusia memberikan makna kepada sejarah. Manusia memiliki keunikan sendiri serta memiliki daya yang absolut yaitu kebebasan yang absolut. Kesadaran manusia memiliki kebebasan untuk memilih, dan dengan kebebasannya manusia dapat bertanggungjawab pada dirinya sendiri.

Filsafat eksistensialis Sartre berkembang dari filsafat fenomenologi Husserl (1859-1938). Dirinya mempelajari filsafat Husserl, dan dirinya menulis cerita pendek, novel, dan karya lainnya yang memodifikasi metode fenomenologi Husserl. Sartre juga menolak reduksi (epoche) Heidegger. Sartre berpendapat bahwa fenomenologi tidak hanya dapat mengeksaminasi kesadaran namun hal itu adalah keharusan, yang pada saat tertentu kesadaran harus mengeksaminasi dunia riil . Tidak ada diri yang berada pada pusat kesadaran, diri dan kesadaran adalah dua hal yang berbeda. Hal ini berbeda dengan filsafat fenomenologi Husserl, bahwa dalam relasi subyek-obyek, kesadaran subyek yang selalu terarah kepada obyek berperanan dalam memahami obyek, sehingga kesadaran dalam fenomenologi Husserl selalu sebagai kesadaran akan sesuatu. Relasi yang terus menerus subyek terhadap pengalaman memberikan intensi tertentu akan obyek. Fenomenologi Husserl merupakan kritik terhadap rasionalisme modern dimana subyek “ditinggalkan” karena keinginan mendapatkan obyek yang sesungguhnya, seperti apa adanya.

Kesadaran dalam diri ada dua yaitu (1) reflektif dan (2) pra-reflektif. Sartre memberikan ilustrasi ketika kita mengejar mobil di jalan, maka perhatian kita bukan pada diri kita namun pada mobil yang kita kejar. Ketidaksadaran akan diri saat mengejar mobil tersebut adalah kesadaran pra-relektif. Pada saat kemudian ketika diri disadari sedang mengejar mobil, maka kesadaran reflektifnya muncul. Oleh karena itu pada pada kesadaran pra-reflektif, tidak mungkin diri itu menanggapi pengalaman.

Diri, tidak ditemukan dalam kesadaran namun dalam relasi dengan dunia seperti diri dalam yang lain. Transendensi ego berarti ego yang tidak pernah diberikan dalam kesadaran, namun seperti diri dalam yang lain. Kesadaran hanya dapat dicapai dalam dirinya sendiri dari relasi dengan yang lain.

Secara ontologis, Sartre membagi fenomenologi menjadi dua bentuk (form) Being, yang disebut “for itself” (êntre pour-soi; bagi dirinya sendiri) dan “in itself” (êntre en-soi; dalam dirinya sendiri). Ada bagi dirinya sendiri artinya adalah yang ada dalam dirinya sendiri. Ada dalam dirinya sendiri seperti benda-benda, yang memiliki ada pada dirinya sendiri. Seperti batu dan pohon, adanya akan tetap (ajeg) tidak berubah kecuali ada perubahan yang diberikan di luar dirinya, karena sebab-sebab yang sudah ditentukan. Seperti pohon yang tumbuh menjadi tinggi dan besar, semuanya sudah ditentukan. Maka bagi Sartre segala yang “ada dalam dirinya” menjadi tampak memuakkan (nauséant). Seperti pohon yang tumbuh akan tampak memuakkan, kecuali jika kita menerima manfaat atas pohon tersebut misalnya memanfaatkannya untuk berteduh.

Tidak ada alasan mengapa batu, meja dan kursi itu ada, ada begitu saja. Benda-benda tersebut tidak memiliki hubungan dengan keberadaannya, sehingga sebuah meja tidak bisa dituntut tanggungjawabnya atas fakta mengapa dirinya adalah meja. Hal ini berbeda dengan manusia yang tidak tergantung, tidak lengkap, kosong, dan kemungkinan akan selalu berubah, karena manusia selalu membuat dirinya menjadi mungkin. Manusia selalu ingin dan harus menjadi seperti yang dipilih dan diputuskannya. Filsafat Sartre menjelaskan bahwa kesadaran akan beings selalu tergantung atas sesuatu yang di luar dirinya . Oleh karenanya manusia ada bagi dirinya. Manusia bukanlah obyek, dan manusia tanpa realitas. Oleh karena itu manusia mempertahankan dirinya dengan meniadakan yang lain. Maka jika benda-benda adalah en-soi yang ada dalam dirinya sendiri (thingness) maka manusia adalah êntre pour-soi, no-thingness.

Ada yang begitu saja ada dalam dirinya, identik dengan dirinya dan tidak tergantung kesadaran (it is what it is). Sedangkan ada bagi dirinya adalah ada yang yang tergantung pada kesadaran. Ontologi fenomenologi Sartre mengajak untuk berfikir di antara realisme dan idealisme, dalam relasi antara kesadaran dengan dunia tanpa jatuh ke dalam idealisme.

Eksistensi Mendahului Esensi 

Kebebasan manusia bagi Sartre adalah tidak adanya Tuhan. Jika Tuhan ada maka Tuhan akan membatasi kebebasan manusia. Bagi Sartre, karena manusia itu bebas maka Tuhan tidak boleh ada . Bagi Sartre Tuhan adalah esensi, manusia adalah eksistensi, maka eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dan “terlibat” dalam dunia baru kemudian mendefinisikan dirinya.

Sartre pada masa kecilnya mendapatkan gambaran mengenai Tuhan dari keluarganya. Tuhan dalam gambaran diri Sartre adalah polisi yang mahatahu dan mahabesar. Tuhan digambarkan sebagai “yang menakutkan” dan selalu mengawasi tindak tanduknya. Ketika dirinya melakukan kesalahan tatapan mata Tuhan (le regard) menjadi ancaman bagi dirinya. Segala suara seperti langkah kaki, suara pintu yang berdecit, suara gerakan seakan menjadi “tatapan” mata Tuhan yang selalu mengawasi. Tatapan Tuhan menjadi ancaman. Hingga pada suatu ketika ketika dirinya berusia 12 tahun, Sartre mengatakan dengan terperanjat bahwa Tuhan tidak eksis, kemudian dirinya mengganggap perkara yang dihadapinya sudah selesai.

Bagi Sartre, jika Tuhan ada, maka Ia adalah kesatuan antara êntre en-soi dan êntre pour soi, kesatuan antara ada dalam dirinya dan ada bagi dirinya. Namun hal ini tidak mungkin karena Tuhan berarti kontradiksi yang tidak mungkin dipertemukan. Sifat-sifat Tuhan yang ajeg (tidak berubah) akan bertentangan dengan ciri êntre pour-soi yaitu kebebasannya. Yang jelas, jika Tuhan ada sangatlah tidak mungkin pada saat yang sama Dirinya menegasi keberadaannya.

Seperti halnya Heidegger, Sartre setuju bahwa manusia berada dalam faktisitas situasi yang tidak dikehendakinya. Situasi ini membuat manusia terbatas terhadap pilihan-pilihannya. Sartre berpendapat bahwa keterbatasan ini disebabkan karena kehidupan manusia sebelumnya. Meskipun keterbatasan ada, namun memang keterbatasan itu adalah buatan manusia. Oleh karena manusia memiliki kehendak untuk memilih, dan memiliki alternatif untuk dipilih, maka hal ini akan membatasi kehidupan manusia berikutnya. Oleh karena itu Sartre menolak bahwa benda-benda menekan manusia untuk melakukan sesuatu. Kesadaran yang bersifat spontan tersebut kemudian menjadi keunikan dari manusia. Dalam kondisi seperti ini kesadaran manusia menjadi kekuatan untuk melampaui segala sesuatu yang meng-obyek-an dirinya. Kesadaran dapat menegasikan benda-benda atau obyek di luar subyek. Maka dalam faktisitas, tergantung dari manusia itu sendiri dalam mengisi keadaan dengan kebebasannya karena kebebasan manusia adalah total dan radikal. Sifat kebebasan yang total dan radikal tidak mungkin direalisasikan jika Tuhan ada. Dengan adanya Tuhan, semuanya sudah ditentukan. Lalu bagaimanakah dengan tujuan hidup manusia tanpa Tuhan? Tujuan hidup manusia tanpa Tuhan adalah dengan merealisasikan kemungkinan-kemungkinan yang ada padanya dengan mendasarkan diri pada kebebasannya. Manusia “terlempar” dalam kebebasannya. Oleh karena itu dengan kebebasan yang dimilikinya manusia dapat memproyeksikan diri. Manusia ingin berada pada dirinya sendiri dengan menolak ada baginya sendiri. Ketika manusia berada dalam dikotomi ini, manusia merasakan tanpa makna, kosong, dan absurd.

Tanggapan dan Refleksi 

Argumentasi filsafat Sartre mengenai adanya Tuhan tampaknya lebih dikarenakan gambaran mengenai Tuhan sebagai penjaga keamanan pasar swalayan. Dengan tatapan matanya, sang penjaga keamanan akan mengamati semua gerak gerik pengunjung. Tatapan mata ini tidak terbatas pada pengunjung yang diduga akan mencuri (berbuat salah) namun juga kepada mereka yang berpotensi berbuat salah. Kondisi ini mencemaskan pengunjung. Pengawasan ini bagi pengunjung akan membuat dirinya menjadi sangat sensitif. Segala bunyi yang mencurigakan, gerak gerik yang mengamati menjadi memiliki efek yang sama dengan tatapan mata yang intimidatif. Apakah Tuhan memang demikian? Bagaimana dengan ke-Mahapengasih-anNya? Apakah kasihnya justru menjadi tatapan yang mengintimidasi juga? Ateisme Sartre justru dapat menjadi masukan bagi kaum beriman dalam pendidikan iman kepada umatnya.

Kedua, filsafat Sartre justru menegaskan bahwa kebebasan manusia bersifat radikal dan absolut, dengan menegasikan yang lain. Lalu bagaimanakah hidup antar manusia menjadi mungkin untuk berdampingan jika semua orang menganggap yang lain sebagai neraka? Sementara yang lain juga akan menegasikan yang satunya dan yang satu akan menegasi yang lain?

Ketiga, jika Tuhan ada maka manusia tidak akan bebas. Sartre jelas kelihatan menempatkan Tuhan sebagai determinan. Namun jika Tuhan adalah Mahakasih bukankah tatapan matanya adalah bagian perhatian yang diberikanNya pada manusia?. Demikian pula dengan manusia, tatapan mata bukan hanya berperan mengawasi, tatapan mata dapat berarti empati. Tatapan mata akan memiliki banyak makna yang tidak melulu bermakna mengobyekkan. Kebebasan eksistensialisme dalam filsafat Sartre memberikan implikasi kesepian. Jika Tuhan tidak ada dan orang lain mengancam, kekosongan dalam dirinya tidak hanya dingin dan beku namun juga terasa sebagai kesendirian yang senyap seperti nisan pada makam Sartre dengan tulisan; “L'enfer, c'est les autres” (“Neraka adalah Orang Lain”).***   


Daftar Pustaka 

Hadiwijoyo, Harun, 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Percetakan Kanisius, Yogyakarta.
Magnis Suseno, Franz., 2000. 12 Tokoh Etika Abad ke-20, Percetakan Kanisius, Yogyakarta
Magnis Suseno, Franz., 2006. Menalar Tuhan, Percetakan Kanisius, Yogyakarta Sastrapratedja,.M. 2010.
Filsafat Manusia. Pusat Kajian Filsafat dan Pancasila-STF Driyarkara, Jakarta. Schroeder, William. R., 2005. Continental Philosophy; A Critical Approach, 1st publishing, Blackwell Publishing Ltd, UK. 
Solomon.C. Robert., 1988. Continental Philosophy Since 1750; The Rise and Fall of The Self, Oxford University Press.
West, David., 1996. An Introduction to Continental Philosophy, Polity Press, Cambrige UK.
Wibowo, A. Setyo, 2011. Filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre, Percetakan Kanisius, Yogyakarta

Thursday, March 15, 2012

Dinamika perkembangan diri (self) manusia menurut Kierkegaard dan Freud



Menurut Kierkegaard manusia adalah unity of body and soul, not yet relation. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri manusia yang terjadi adalah kesatuan pasif ("it") yang dideterminasi dari luar. Sedangkan "diri" manusia yang tidak hanya terjadi sebagai kesatuan body dan soul serta memiliki relasi yang aktif atau dinamis karena the power of spirit. Spirit (the power of being) mengaktifkan dan memperkuat self menjadi dinamis. Namun self bisa hilang dan kembali ke "it" jika terjadi "despair". Manusia adalah sintesis yang mengikat relasi-relasi tersebut menjadi satu kesatuan. Spirit memungkinkan terjadinya sintesis. Spirit memungkinkan possibility menjadi actuality. Kerja dari spirit adalah (a) mengubah "it" menjadi "self", (b) mengubah unity menjadi relation, dan (c) mengintegrasikan semua relasi. Dalam dialektika possibility menjadi actuality, sehingga manusia menjadi diri dan bisa mengatakan 'aku' terjadi karena freedom (kebebasan) bukan by necessity secara alamiah. The power of being adalah given, namun bisa bekerja bisa tidak bekerja.

Eksistensi manusia terbangun atas body, soul, dan spirit (roh). Spirit ada bersama manusia di dunia. Spirit bisa bekerja dengan syarat manusia mau menerima, berkembang, dan menerima tanggungjawab. Demikian pula kemenjadian manusia adalah akibat kebebasannya bukan secara keniscayaan alamiah, maka perubahan itu terjadi pada tataran eksistensi bukan esensi. Spirit merupakan konsep ontologis bukan hanya biologis (pada Freud) yang menjadikan manusia menjadi dinamis yang memungkinkan manusia memiliki kebebasannya. Kebebasan sebagai self determination, menentukan diri sendiri, bukan kekuatan dari luar (spirit roh). Self determination berarti kebebasan yang membawa tanggungjawab. Spirit memungkinkan manusia menjadi mungkin untuk mampu memproyeksikan diri. Proses self becoming pada Kierkegaard tidak deterministik karena ditentukan oleh kebebasannya, sedangkan pada Freud deterministik karena ditentukan oleh masa lalunya.

Eksistensi menurut Kierkegaard adalah kemampuan transenden manusia. Imanjinasi merupakan kemampuan transenden manusia untuk memposisikan dirinya ke depan. Mengacu pada yang transenden terdapat tiga tahapan perkembangan eksistensi manusia yaitu;
a) Tahapan Estetik; tataran manusia tidak membedakan dirinya dengan lingkungannya
b) Tahapan Etik: manusia memiliki referensi yang abadi tetapi belum penuh. Sudah ada komitmen setidaknya moral tetapi belum pada Allah yang transenden
c) Tahapan Religius atau Theos: Komitmen tidak terbatas pada yang moral di masyarakat, tetapi komitmen pada Allah saja. Dari temporal menuju yang abadi.

Menurut Kierkegaard dalam diri manusia terdapat hubungan dialektis yang saling timbal balik yaitu dialektika esensial antara yang terbatas dan tak terbatas, dialektika sintesis antara badan dan jiwa, dialektika eternal antara temporal dan abadi, serta dialektika eksistensial antara keharusan dan kebebasan. Pergerakan eksistensi manusia pada tahapan-tahapan tersebut juga berangkat dari keputusan yang diambil manusia. Kedirian yang diperjuangkan manusia bisa hilang karena despair. The self pada Freud bisa hilang karena neurotik. Kedirian manusia hilang karena tidak ada sentuhan pada realitas hanya pada tataran imajiner.

Tahapan konsep kedirian manusia pada Freud terdiri atas tiga yaitu (a) Tahap somatik; bekerjanya organisme fisik yaitu naluri seksual dan naluri ego (where there is id there is ego). Id adalah hasrat yang tak sadar. Manusia dilihat sebagai mekanik, dorongan-dorongan naluriah yang asalnya somatik (dorongan pada organ-organ tubuh tertentu dan berciri seksual). (b) Tahap psikologis; pada tahapan ini masih berciri bekerjanya organ-organ reproduktif. Terdapat pemenuhan dorongan-dorongan seksual yang apabila tidak terpenuhi maka akan menjadi neurotik (gratifikasi). (c) Tahap metapsikologi; merupakan fase lanjutan, gairah seksual tidak berasal dari organ seksual melulu tetapi dari seluruh organ-organ tubuh. Pada awalnya memang pada organ-organ seksual namun lalu tidak dibatasi pada organ-organ itu saja sehingga seluruh tubuh adalah seksual. Hal ini menunjukkan perluasan pengertian seksual.

Thursday, August 04, 2011

Tentang Keadilan



Pada saat kita mendengar kata “keadilan” seringkali kita secara langsung berfikir mengenai dua hal yaitu; mengenai hukum dan kesejajaran. Keadilan memiliki ketergantungan pada dua hal yaitu kepenuhan hukum dan kesejajaran. Maka “keadilan” kemudian adalah kepenuhan hukum dan adil, ketidak adilan adalah tidak ada hukum dan tidak adil. Dua makna ini menjadi penting dan saling berhubungan. Semua tindakan hukum harus memenuhi tindakan keadilan, demikian dinyatakan Aristoteles. Namun Pascal menyelidiki bahwa hukum itu sendiri bukanlah keadilan. Lalu keadilan manakah yang seharusnya? Apakah keadilan harus diwujudkan sebagai fairness? Apakah itu mungkin? Sementara hukum lebih mengutamakan prosedur dan milik pemegang otoritas. Dimanakah hukum yang fair dan mengandung kedua makna secara sejajar yaitu adil dan setara? Ulasan di bawah ini akan menjelaskan keadilan sebagai inti dari hukum, dimana keadilan menjadi dasar keutamaan untuk bertindak secara hukum.

Seperti seorang anak kecil yang masih senang bermain, seorang anak bisa mengatakan ada ketidak fair-an pada dirinya ketika dirinya memiliki sesuatu lebih sedikit daripada yang seharusnya. Dan ketika dirinya sedang bermain mungkin dirinya yang sedang memperjuangkan fairness dianggap melakukan kecurangan karena tidak mengabaikan peraturan permainan yang baik tertulis maupun tidak tertulis. Demikian pula dalam dunia orang dewasa, dalam konteks keadilan social, akan mengkritik terhadap kesejangan sosial yang dihadapinya. Sebaliknya kita bisa mengatakan seseorang sedang melakukan pelanggaran hukum atau tidak peduli tehadap kepentingan orang lain, ketika dirinya hanya membagi sebagian yang baik pada dirinya dan membagikan keseluruhan yang buruk padanya. Dalam hal ini keadilan seperti bergantung kepada dua hal sekaligus; hormat pada legalitas dan kesetaraan antar individual. Aristoteles menyatakan bahwa “Keadilan adalah kepenuhan hukum dan fairness, ketidakadilan adalah ketidak penuhan hukum dan tidak fair.” Keduanya saling berhubungan erat, keadilan mensyaratkan kesetaraan sebelumnya. Tidak ada perbedaan yang membedakannya. Pendapat iniberbeda dengan yang dinyatakan Pascal bahwa keadilan adalah yang ada dan diakui, sehingga semua hukum yang ada dan diakui penting untuk selalu dirujuk sebagai keadilan tanpa pengujian, karena dirinya ada dan diakui.

Hukum sebagai fakta legal (legalitas) lebih penting daripada hukum sebagai nilai (legitimasi). Maka menjadi tidak mungkin ada keadilan jika keputusan hukum tidak diwajibkan di letakkan pada hukum, termasuk klausul-klausul di dalamnya diatas, diatas moralitas yang berlaku. Tanpa legalitas tidak ada negara, dan tidak ada system legal, tidak ada aturan hukum. “Auctoritas, non veritas, facit legem.” Autoritas, bukan kebenaran, yang menentukan hukum . Hobbes sangat memegang kata-kata itu dan dirinya juga mengakui kebenaran demokrasi. Hukum dibuat oleh kaum mayoritas bukan oleh kaum cerdik cendekia. Judicial positivism (positivisme keadilan) sebagai doktrin. Lalu dimanakah keadilan itu berada?

Masih mengacu pada pernyataan Hobbes, kedaulatan menentukan segalanya, dan yang ditentukan kedaulatan adalah hukum melalui definisi yang dibuatnya. Pascal kemudian menyatakan kembali; “ Tidak ada keraguan bahwa kesamaan atas barang adalah keadilan”. Namun keadilan memutuskan yang berbeda; hukum memberikan perlindungan terhadap kepemilikan pribadi, praktek di dalam demokrasi modern tidak memiliki perbedaan pada saat kehidupan Pascal. Dan, pada saat itu terjadilah ketidak setaraan (inequality) dalam kepemilikan karenanya. Lalu ketika kesetaraan dan legalitas tidak saling sejajar dimanakah keadilan itu?

Di dalam filsafat kuno Yunani diskusi mengenai menjaga keharmonisan atas keseluruhan menjadi penting. Namun ketika disodorkan pertanyaan mengenai perlunya distribusi yang sama dan rata kepada semua orang, meskipun terdapat banyak perbedaan baik kendala personalnya maupun tanggungjawabnya, tema diskusinya menjadi berubah. Kaum filsuf banyak yang berbeda pandangan mengenai perlunya menjaga kesamaan secara identik pada ketidak samaan manusia, dan kebebasan terhadap kesetaraan. Keadilan memicu perselisihan, hal ini secara mudah dikenali dan tidak menimbulkan perselisihan. Mayoritas adalah jalan terbaik dalam perselisihan tersebut, karena mayoritas itu nampak (visible) dan memiliki kekuatan untuk dipatuhi.

Konsep Rousseau mengenai kehendak (kepentingan) umum berguna untuk menjelaskan hal ini, namun meragukan. Tidak ada jaminan bahwa kehendak umum selalu adil, sehingga kesahihannya tidak dapat tergantung pada ke-“adil”-an. Meskipun terdapat pembatasan pengertian bahwa keadilan adalah (terhadap) kehendak umum namun hal ini tidak memberikan jaminan apapun bahwa akan “adil”. Dan hal ini dapat dimaknai bahwa keadilan bukanlah fakta legal (legalitas) tetapi nilai atau norma kebajikan.

Hal kedua yang penting adalah moralitas yang lebih daripada moralitas di dalam hukum. Ketika hukum bertindak tidak adil, maka ketidak adilan itu melukai hukum. Socrates telah mengajarkan kecintaannya kepada hukum, dirinya memilih mati di dalam hukum. Hal ini menunjukkan bahwa Socrates menghindari kerumitan untuk menjelaskan relasi keadilan terhadap legalitas. Kepahlawanan Socrates didasarkan pada perdebatan prinsip dimana seseorang yg tidak berdosa dikorbankan kepada hukum meskipun dirinya telah melakukan tindakan kriminal. Hukum bukan dilakukan dengan dasar mengorbankan keadilan apalagi mengorbankan orang tidak berdosa. Hukum perlu dihormati dan dipatuhi serta dipertahankan. Moralitas dan keadilan hadir sebelum legalitas, setidaknya pada saat yang esensial perlu diperhatikan. Kebebasan bagi semua orang, jalan hidup masing-masing individu, dan hak-hak manusia adalah esensial. Hal inilah yang dijaga oleh hukum. Jika kepatuhan mempersyaratkan kita untuk mengharapkan keadilan atau toleran terhadap intoleransi, maka tidak akan ada negara republik maupun negara demokrasi. Namun tidak setiap ketidak adilan hukum harus tidak dipatuhi, hal ini tidak dapat diselesaikan sekaligus dan untuk keseluruhannya. Kadangkala hak untuk melakukan sesuatu harus dilakukan secara diam-diam dan dengan perjuangan. Namun kadang juga dapat dilakukan dengan kepatuhan atau ketidak patuhan secara diam-diam. Tentu saja hal ini akan lebih baik jika keadilan dan hukum itu “menyatu” dan kewajiban moral setiap warga negaranya adalah memperjuangkan tujuan utamanya. Keadilan bukan milik siapa-siapa, namun setiap dari kita memiliki kewajiban moral untuk mempertahankan keadilan. Keadilan tidak mungkin tampak dalam partai. Keadilan tidak ada di dalam institusi, keadilan hidup di dalam pribadi-pribadi. Bahkan untuk sebuah norma, keadilan tidak eksis di dalamnya. Keadilan hidup di dalam pribadi masyarakat.

Namun jika keadilan hidup di dalam pribadi-pribadi, lalu apakah hukum juga ada di dalamnya? Tentu saja tidak jika hukum muncul (tampak) sebagai sikap yang tidak adil. Hal ini termasuk juga tentang moralitas hukum, apakah seseorang menghidupi moralitas hukum? Kant justru mempertanyakan untuk apakah menghidupi moralitas hukum? Moralitas hukum itu eksis dan kita semua tahu tentang hal itu. Kita membutuhkan sedikit orang yang bertindak adil, karena dengannya mereka akan menderita. Kant misalnya berfikir bahwa dirinya akan lemah secara hukum, setidaknya dalam hal idea tentang keadilan, jika diterapkan hukuman mati bagi semua pembunuh. Ketidak sepahaman tentang hal ini penting untuk mengungkapkan esensi keadilan di dalamnya.

Hal ini juga berlaku dalam hal pengukuran hukuman. Hukum menjawab keseluruhannya, namun keadilan tidak. Hal ini mirip dengan tindakan mengajar bagi seorang guru mengenai siapakah yang akan diberikan penghargaan? Apakah yang memiliki kemampuan atau memiliki motivasi? Bagaimana standar dapat diterapkan? Seorang guru akan berusaha dengan terbaik menjawabnya. Bagi mereka yang menjawabnya, terutama yang tidak mengerti tentang keadilan akan memahami dan menimbang resiko dan ketidak pastian. Seperti ungkapan Pascal; “ Ada dua kategori manusia yaitu yang selalu benar yang selalu merasa berdosa dan yang merasa selalu berdosa dan selalu merasa yang benar”. Kita tidak tahu berada di mana di dalam kategori tersebut, jika kita tahu kita akan tahu bahwa kita sudah berada di salah satunya.

Seperti makna kata “equity” yang berasal dari kata "aequus", yang berarti setara yang bersinonim dengan keadilan jika berada di atas makna keadilan sebagai kesempurnaan. Ide kesetaraan direflekasikan dengan dua buah timbangan. Keadilan adalah harapan akan kebajikan dan membutuhkan saling setara dan saling jujur. Keadilan mirip dengan transaksi perdagangan, namun hanya jika seseorang yang menerapkannya mendapatkan manfaat dari tindakan yang saling adil.


PUSTAKA


Comte. A., terjemahan C. Temerson., A Small Treatise on the Great Virtues, A Metropolitan/Owl Book-Henry Holt and Company New York, 2001.

Thursday, May 19, 2011

Tahukah Anda; Bahwa Sains Modern Itu berasal dari Pengetahuan akan Semesta?




Pada masa awalnya, ilmu pengetahuan didominasi oleh pengetahuan Aristoteles (384-322SM) dari Yunani. Aristoteles adalah orang pertama yang meletakkan teori tentang fisika, bilogi, astronomi, dan kosmologi. Aristoteles adalah orang pertama yang memulai “universitas” bernama Academia. Pada masa itulah, di Academia memiliki perpustakaan pertama sepanjang sejarah peradaban manusia.

Kemudian pada tahun 1542, astronom Polandia, Nicolas Copernicus (1473-1543)mempublikasikan buku mengenai Teori Geosentris, dimana bumi adalah pusat dan planet lain dan matahari mengitari bumi pada orbitnya. Teori Geosentris ini juga dikenal sebagai astronomi Ptolomeus setelah teori Ptolomeus (astronom Yunani) pada masa Aristoteles diyakini kebenarannya. Teori Ptolomeus ini diyakini kebenarannya selama 1800 tahun!

Copernicus, meski teorinya dianggap sebagai astronomi Ptolomeus (geo sentries), dirinya juga memberikan model alternative, heliosentris; matahari sebagai pusat tata surya dan planet termasuk bumi berputar dalam orbitnya mengelilingi matahari. Teori heliosentris ini sangat kontradiktif dengan kepercayaan masyarakat ketika itu, hingga Gereja Katolik pada tahun 1616 melarang bukunya mengenai pergerakan bumi. Namun 100 tahun kemudian teori Heliosentris ini diterima kebenarannya.

Johannes Kepler (1571-1630) mengkoreksi pemikiran Copernicus, bahwa orbit yang mengitari matahari tidak melingkar seperti yang dikatakannya, namun berbentul elips. Teorinya yang kedua dan ketiga menjelaskan mengenai kecepatan planet dalam meng-orbit matahari.

Galileo Galilei (1564-1642), pengikut pemikiran Copernicus menemukan teleskop. Ketika teleskopnya di gunakan untuk melihat “surga”, dirinya menemukan hal hal yang menakjubkan; termasuk gunung di bulan, bintang, spot matahari, dan “bulan” Jupiter.

Penemuan mereka bertentangan dengan kosmologi Aristoteles dan berhasil membawa abad itu “bergantung” pada pemikiran Copernicus. Gaileo juga berhasil mempertanyakan teori Aristoteles mengenai mekanika, yang mengatakan benda yang lebih berat akan jatuh terlebih dahulu daripada benda yang lebih kecil. Galileo mengatakan, bahwa semua benda yang jatuh bebas ke bumi mempunyai kecepatan yang sama tanpa bergantung kepada beratnya! Teori ini dikenal sebagai Teori Galileo mengenai Hukum Benda Jatuh Bebas. Pemikiran Galileo menandai dimulainya pemikiran mengenai fisika modern.

Rene Descrates (1596-1650) ahli fisika mengembangkan filsafat mekanika. Hukum ini menjelaskan gerak dari partikel (elemen, unsure, corpuscles) sebagai bagian kunci dalam pemahaman struktur pemikiran tentang semesta oleh Copernicus. Descrates pulalah yang mengkritik filsafat pada jamannya yang kurang sistematis, sehingga perlu sistem filsafat seperti ilmu pasti yang mendasarkan pada aksioma-aksioma dan tersusun menurut langkah-langkah yang logis. Cogito Ergo Sum (“Aku berfikir maka Aku ada”), aku (subyek) adalah pangkal filsafatnya. Subyek sebagai pusat pemikiran, titik tolak. Hal ini menjadi titik pangkal filsafat modern bahwa manusia yang “membawa” dan “memikul” realitas. “Aku berfikir maka aku ada” adalah ide yang tegas dan jelas, dan memiliki kepastian.

Kemudian ilmuwan lain seperti Huygens, Gassendi, Hooke, Boyle dengan berbagai penemuannya meruntuhkan argumen kosmologis Aristoteles.
Dan, puncak ilmu pengetahun terjadi ketika Sir Issac Newton (1643-1727) menerbitkan bukunya “Mathematical Principle of Natural Philosophy” pada tahun 1687. Newton setuju dengan para filsuf mekanika bahwa semesta terdiri atas partikel partikel sederhana yang bergerak. Hal ini memperkaya khasanah teori Descrates tentang gerak dan aturan kolisi. Hukum Newton tentang gerak dinyatakan sebagai prinsip universal tentang grafitasi. Bahwa setiap orang di alam semesta dipengaruhi oleh grafitasi sebesar berat badannya. Kekuatannya di antara dua badan tergantung dari massanya, dan kuadrat perbedaan jaraknya. Dan Newton memperkenalkan teknik matematika baru; kalkulus.

Tanpa mereka, pengetahuan tentang apapun dan teknologi modern mungkin tidak akan pernah hadir. Terima kasih Aristoteles, Copernicus, Galileo, Descrates, dan Newton....

Friday, February 11, 2011

Kematian; Keterbatasan Sekaligus Ketidak Berakhiran Hidup Manusia

Eksistensi manusia terbatas jika eksistensi manusia identik secara penuh dengan tubuhnya. Hal ini memberikan makna bahwa dengan kematian tubuh, keseluruhan diri manusia hilang ketika mati. Hal ini menunjukkan pula bahwa dalam kematian yang total dan radikal, manusia dengan segala dimensinya tunduk dan dikuasai oleh hukum fisik dan biologis sebagaimana suatu barang diantara barang-barang. Sebaliknya dengan teori evolusi, Teilhard de Chardin menjelaskan bahwa manusia akan kehilangan motivasi bila ia akan lenyap tanpa meninggalkan bekas. Dalam pandangan ini kematian sungguh tidak menunjuk pada ketidak berakhiran hidup manusia.

Gabriel Marcel menyatakan bahwa kekekalan hidup manusia yang menunjuk pada keadaan bahwa manusia secara esensial terdorong pada cinta kasih, pada hubungan “aku-Anda”, di mana mencintai seseorang berarti mengharapkan bahwa dia tidak akan mati (sebagai hubungan “aku-Anda” yang Mutlak). Sedangkan Karl Rahner menyatakan bahwa meskipun badan manusia merupakan dimensi esensial bagi manusia dank arena kondisi kebadanannya manusia dapat berhubungan dengan dunia. Setelah terputus karena kematian jiwa akan lebih luas berhubungan dengan dunia (pan-kosmik).

Kekekalan manusia dapat dijelaskan bahwa dengan kematian eksistensi manusia tidak akan berakhir, eksistensi manusia memiliki dasar dan tujuan metahistoris. Motivasi untuk membangun dunia akan selalu ada jika ada keberlangsungan hidup manusia sesudah kematian. Heidegger menyatakan bahwa kematian adalah istilah yang sebaiknya diberikan kepada manusia, karena dengan “kesadaran” akan kematian manusia akan memiliki makna kehidupannya. Eksistensi manusia dapat didefinisikan sebagai Sein-zum-Tode, ada-menuju-kematian. Kehidupan manusia hanya memiliki nilai dan kesatuan apabila ada akhir hidup, suatu batas yang memberi perspektif. Maka dalam hal ini Heidegger mengajak kita untuk hidup dalam antisipasi realistik atas kematian yang tidak terelakkan (erwarten). Kehidupan sebagai keseluruhan yang terbatas dan kita menghayatinya dengan satu tujuan dan daya kekuatan dalam bayangan kematian.

Heidegger mengatakan bahwa kesadaran akan kematian dan penerimaan kematian berarti penerimaan akan keterbatasan membuat eksistensi manusia otentik, yaitu eksistensi yang bertanggungjawab. Oleh karena kesadaran ini Heidegger menyatakan bahwa kematian memiliki nilai edukatif; karena kesadarannya maka kesadaran akan kematian akan mendorong manusia untuk berbuat guna menunda kematian yang tak terelakkan. Kedua, bahwa segala sesuatu yang dimiliki dan ditinggalkan pada masa hidup dan digunakan untuk dirinya sendiri adalah kesia-siaan.

Thomas Aquinas; "Persona"

“Persona” atau “pribadi” menunjukkan status manusia sebagai “subyek”, sebagai pelaku yang bebas dan rasional, yang tidak bisa direduksi menjadi obyek sekaligus menunjukkan “keutuhan” (subsistens, memiliki “ada’nya sendiri), keunikan dan ke-rohani-an manusia. Oleh karena itu istilah “persona” atau “pribadi” hanya digunakan kepada manusia bukan kepada makhluk lain. Thomas Aquinas memberikan definisi tersebut karena kekhasannya, keunikannya. Sebagai pribadi, manusia memiliki otonomi atas “ada”nya. Manusia “memiliki kodrat yang rasional”, sebagai persona yang memiliki akal budi atau kemampuan rasional. Manusia juga memiliki tujuan yang “pada dirinya” (“Finis in se”), manusia menjadi tujuan dari segala aktivitasnya dan tidak dapat direduksi menjadi sarana. Maka dalam definisi ini, dengan lima unsur utama yang terdapat dalam diri manusia, manusia memiliki kekhasan ciri yang berbeda dengan makhluk lainnya.

Dalam kebebasannya, manusia sebagai “pribadi” bukanlah hal yang sudah selesai akan tetapi terus menerus diperjuangkan dan diciptakan. Driyarkara menyatakan bahwa manusia harus mempribadi. Oleh karena unsur-unsur yang dikemukakan Thomas Aquinas menjadi ciri manusia yang bermartabat, maka hubungannya dengan hak-hak asasi manusia, kesemua unsure tersebut haruslah diperjuangkan, dijamin dan dirawat. Hak-hak inilah yang menjadikan manusia sungguh memiliki martabatnya. Dalam proses mempribadi, manusia akan sungguh menjadi manusia jika hak-hak asasinya dipenuhi.

Thursday, February 10, 2011

Apakah Aku Memiliki Tubuhku?

Tubuh memiliki makna penting bagi manusia. Tubuh tidak hanya bermakna biologis, namun sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan, sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Tubuh tidak hanya intrinsik pada identitas personal namun juga sebagai pribadi dalam perjumpaan sosial. Oleh karenanya, kita sangat terbatas dalam memaknai “aku adalah tubuhku”. Bahkan Gabriel Marcel menyatakan bahwa kata “memiliki” tidak dapat secara fundamental diterapkan pada tubuh. Aku tidak dapat mengatakan secara mutlak aku “memiliki” tubuh. Meskipun “tubuhku” dapat dihayati sebagai “diriku”, secara terbatas dapat dimaknai sebagai tubuh organik dan manusiawi. “Organik” karena ada kesamaan dengan organisme hidup lainnya, sebagai salah satu aspek kebertubuhan, dan “manusiawi” karena berpartisipasi dalam segala realisasi pribadi manusia dan pribadi manusia mengekspresikan diri dalam dan melalui tubuh.

Oleh karena faktor sosial, makna tubuh diberikan oleh masyarakat. Foucault menyatakan bahwa tubuh adalah entitas “yang diinvestasikan”, yang mendapat makna spesifik historis dan dibentuk oleh kekuatan sejarah dan kekuasaan. Bordieu menyatakan bahwa tubuh “dimodifikasikan” menjadi modal cultural. Kenyataan sosial ini menggambarkan bahwa dalam konteks sosial “aku tidak memiliki tubuhku”. Hal ini menunjukkan seakan-akan tubuh hanay dilihat dari sudut konstruksionisme, seolah-olah tidak ada tubuh biologis, dimana “aku memiliki tubuhku”. “Aku memiliki tubuhku” sebagai tubuh alami. Tubuh memiliki makna manusiawi sebagai tempat utama dalam berekspresi persona. Tubuh sebagai kehadiran ketika berhadapan dengan seseorang. Dalam kerangka komunikasi tubuh berfungsi sebagai bahasa, dimana ketelanjangan wajah mengekspresikan kesamaan manusia. Dalam wajah terdapat identitas manusia (Levinas). Tubuh juga berperan sebagai prinsip instrumentalitas, yang perlu dilatih dan dikembangkan kemampuannya, terutama dalam kemampuan terhadap pelayanan kepada yang lain. Dalam makna tersebut “aku memiliki tubuhku”.